Oleh : Yufrizal
Seperti biasanya saya menjemput anak satu-satunya kesekolah di salah
satu SMA Negeri di daerah kami. Anakku duduk dikelas II jurusan IPA. Jadwal sekolah biasanya hari Senin sampai Kamis masuk jam 7.00 pagi dan
pulangnya jam 14.30. Hari Jum’at pulangnya jam 11.30. Sedangkan hari Sabtu
pulang jam 12.30.
Memang begitulah jadwal rata – rata tingkat SLTA sesuai tuntutan
kurikulum sekolah yang ditetapkan pemerintah. Tentunya para siswa membawa bekal
makan siang kecuali hari Jum’at dan Sabtu karena pulang sebelum jam 13.00
siang.
Dalam pelaksanaan pembelajaran toh sudah biasa saja, jika pulang
terlambat karena ada kegiatan remedial, atau kegiatan ekstra kurikuler lainnya
sepanjang diberitahukan. Atau dilaksanakan dari Senin – Kamis karena anak-anak
membawa bekal makan siang.
Tidak halnya dengan hari ini, Sabtu ini seperti jadwal biasa aku
menjemput kesekolah jam 12.25, ditunggu sekian lama si anak belum juga keluar.
Sampai jam 14.20 si Anak baru nongol dihalaman sekolah dengan wajah sudah
tampak pucat. Taunya anak mengikuti remedial untuk pelajaran Matematika yang
dilaksanakan langsung sehabis jam terakhir tanpa istirahat.
Sebagai pemerhati pendidikan juga, saya sangat kecewa menerima
penjelasan si Anak. Ada poin besar yang terlupakan oleh guru.
Kalau tidak keliru, pendidikan adalah bertujuan untuk mengarahkan siswa
menjadi manusia berkualitas, sehat jasmani dan rohani dan beriman. Tentu dalam prosesnya dengan mempertimbangkan banyak
aspek. Kondisi kesehatan, perimbangan waktu dan beban belajar dsb.
Tanpa makan siang si Anak masih dipacu juga dalam belajar apakah
efektif? Tentunya tidak, saat itu anak
dinilai/ diukur kemampuannya. Hal ini sangat berdampak kepada kesehatan
lambung siswa yang kosong ditambah lagi beban stress dari pembahasan pelajaran.
Kelihatan perimbangan pembangunan sektor pendidikan lebih dominan
memperhatikan fisik sekolah. Belum maksimal menitik beratkan kepada pembangunan
non fisik yang berfokus kepada perkembangan dan karakter siswa. Guru juga sangat perlu disentuh dengan penyegaran
kompetensi paling mendasar sebagai guru
bukan sebagai pengajar.
(Kita memiliki banyak pengajar,
tetapi memiliki sedikit Guru : Status Facebook Bapak Said Alkhudri)
Hal-hal kecil ini tentunya harus dibijaki oleh para pendidik dan
pengambil kebijakan, jangan terlalu memacu pada angka-angka perolehan nilai si Anak yang
belum tentu valid. Dan belum ada rumusan hubungan berbanding lurus nilai anak
dengan keberhasilan mereka dalam menjalani kehidupan.
Alangkah baiknya kita fokus pada pembelajaran yang menyenangkan,
menyemangati, dalam situasi dan kondisi yang kondusif. Dengan kondisi yang “happy”
fisik yang stabil mereka akan lebih mudah untuk belajar dan mempelajari sesuatu
dengan rasa senang. Tidak merasa terbebani dengan target-target guru berupa
angka-angka kuantitatif tanpa mempertimbangkan
kondisi normative.
Dunia pendidikan kita belum bisa dikatakan lebih baik, masih banyak
kasus-kasus dalam proses pembelajaran yang belum memihak kepada perkembangan
siswa, yang perlu diperhatikan dan diseimbangkan. Baik karakter, akademik,
penyaluran bakat dan minat. Guru masih banyak yang menjadi Center pada proses pembelajaran, belum memposisikan siswa sebagai
subjek yang harus diperlakukan sebagaimana mestinya.
Artinya, para pengambil kebijakan tentu diharapkan fokus untuk
mengurangi faktor-faktor minus dalam
dunia pendidikan dengan mencari akar permasalahan yang ada. Bukan hanya
mempercantik bangunan, gerbang yang bagus dan peringkat NEM yang tinggi. Tetapi
lebih dari itu membangun Manusia Seutuhnya yang akan tumbuh kokoh dibumi
nusantara, tentunya ditunjang oleh kesehatan,
keimanan, karakter, akademik, dan bakat
dan minat yang terpupuk dengan baik.
Semoga…..
Pauh Duo, Maret 2014
No comments:
Post a Comment