Oleh : Drs. Yufrizal, MM
Profesi
guru tak habis-habisnya dibahas, merupakan profesi yang sering dibicarakan. Mulai dari
sosok sang guru “Umar Bakri” yang
merupakan pencerminan nasib guru zaman lalu dengan sepeda ontelnya.
ILUSTRASI: Sampai akhir 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat ada Rp 10 triliun tunjangan guru yang belum disalurkan ke rekening guru dari Rp 40 triliun dana tunjangan yang sudah ditransfer pemerintah pusat ke rekening pemerintah daerah. Inspektur Jenderal Kemendikbud Haryono Umar mengatakan paling marak kasus pengendapan ditemukan di Pulau Jawa. KOMPAS.com/M. Latief
Pengorbanan
tulus ikhlas guru dalam mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan cita – cita
luhur bangsa di UUD 1945 merupakan amanah yang diemban dengan kerelaan. Sosok
guru yang selalu ada dalam membimbing anak-anak bangsa secara kehidupan sangat
sederhana. Dengan adanyanya regulasi dan perhatian pemerintah terhadap profesi
guru ini yang tertuang dalam undang-undang No. 14 Tahun 2005 serta pelaksanaan
di Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, nasib guru sedikitnya mulai
membaik dengan adanya program tunjangan profesi bagi guru yang telah mengikuti
sertifikasi.
Tunjangan
profesi yang dibayarkan sesuai dengan besaran gaji pokok kalau memenuhi
ketentuan syarat pembayaran yang diatur dengan permendikbud dan permenkeu yang
diberlakukan saat itu. Pada intinya seorang guru dapat menerima tunjangan
profesi kalau beban mengajarnya minimal 24 jam pelajaran per minggu. Program
ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tetapi penulis punya
pendapat lain, lebih tepatnya untuk kesetaraan
dengan profesi lain, agar tidak terlalu ada kesenjangan.
Penulis
amati sejak 2007 pola rekruitmen
sertifikasi ini cukup baik, ada kuota per tingkat bagi guru yang sudah S1
minimal sudah mengajar 5 tahun, atau golongan IV.A ataupun berusia 50 tahun dengan masa kerja 20
tahun. Dan sekarang pola rekruitmen sertifikasi mengikuti ujian kompetensi.
Pada
intinya yang kita bahas bukanlah pola rekruitmen sertifikasi ini, tetapi dari
sudut pandang bagaimana guru diperlakukan. Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam pengelolaan yang berkaitan dengan sertifikasi/ tunjangan profesi yang
merupakan seteguk air ditengah kerontang nasib guru.
Sejak
terjadinya perubahan SOTK tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, aroma
pengelolaan pendidikan mulai berubah. Pendataan guru berubah, kebijakan-kebijakan
berubah. Tentunya tujuan berubah kearah yang lebih baik.
Tetapi
dilapangan entah dilingkungan penulis, guru semakin lama semakin dibebani
dengan berbagai regulasi, selain beban mengajar 24 jam dengan tata aturan yang
baru. Guru juga diribetkan dengan pendataan. Disibukkan dengan berbagai
prosedur, sehingga berdampak dengan kinerja guru sesungguhnya mendidik,
mengajar dan mengayomi anak didiknya.
Betapa
pahitnya perjuangan guru era sekarang dengan beberapa perubahan dan kebijakan,
ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah daerah. Seakan tunjangan profesi yang
akan mereka terima itu diberikan dengan kurang
rela.
Yang
menerima tunjangan profesipun banyak
masalah juga, jumlah pembayaran yang kurang sesuai. Ada yang menerima tidak
cukup 12 bulan, ada juga keterlambatan
pembayaran.
Begitu banyak keluhan para guru,
begitu melelahkan
Pertama
sistem pendataan yang belum “mantap” dari pemerintah menimbulkan banyak menyita
waktu, biaya dan tenaga. Pendataan online yang merupakan data pokok pendidik (
Dapodik) belum berfungsi maksimal, server yang bermasalah, tenaga operator
didaerah yang terbatas, keterbatasan jaringan, terjadi eror dan bermacam-macam
keluhan kawan-kawan guru. Mereka tentunya memiliki beban berat, semua tunjangan
yang akan mereka dapatkan berdasarkan data online tersebut. Bagi daerah
perkotaan oke – oke sajalah berkaitan dengan jaringan internet, bagaimana
didaerah yang jaringannya jelek? Dan Sepertinya server dipusat juga belum
maksimal juga, belum kelihatan suatu system pendataan yang benar-benar baku dan
handal.
Kedua,
perubahan jam mengajar dan rombel dalam syarat penerimaan tunjangan profesi.
Ketika guru jamnya kurang dengan sukarela mereka harus mencari sekolah lain
untuk mencukupkan jam mengajar 24 jam. Kalau di daerah perkotaan mungkin ini
tidak terlalu bermasalah, tetapi untuk daerah ini masalahnya sangat komplek.
Jarak antar sekolah tentu berjauhan dan tidak semua daerah dengan mudah
ditempuh.
Jumlah
rombel yang kurang dari persyaratan guru
juga tidak akan menerima tunjangan.
Kita tahu jumlah siswa itu selalu berfluktuasi, terutama di Sekolah Dasar.
Sekolah Dasar boro – boro dulu pemerintah canangkan perluasan akses pendidikan.
Sekolah Dasar banyak didirikan untuk mengejar target wajib belajar. Dilapangan
memang ditemukan beberapa Sekolah Dasar yang jumlah muridnya sedikit.
Nah,
sekarang kok sepertinya dilimpahkan kepada guru ? dengan tidak akan menerima tunjangan profesi. Mereka nantinya akan minta
pindah tugas ke Sekolah Dasar yang jumlah siswanya banyak. Siapa yang mengajar disekolah
kecil itu ?
Semua
kondisi itu bukanlah diciptakan oleh
guru. Bukanlah guru yang memilih penempatan tugasnya. Guru hanya menerima tugas
yang dilimpahkan para pengambil keputusan dan kebijakan.
Tapi
nyatanya guru yang menanggung beban, Guru
oh guru
Salam Guruku …………….
Masuk Indek Artikel : Guru Sekolah
Kecil Sulit Penuhi Syarat Tunjangan (26 Mar2014)
No comments:
Post a Comment